Menjadi seorang sarjana hukum ternyata bukanlah garansi kualitas seseorang mampu merancang suatu kontrak secara mendetail dan bebas dari risiko hukum. Sebaliknya, seseorang berlatar belakang non-hukum yang sudah lama bergelut dalam suatu bidang bisnis seperti konstruksi atau perbankan dan sebagainya, terkadang justru lebih memahami detail permasalahan dan risiko yang harus ia lindungi dalam bidang bisnis yang ia geluti.
Yang kemudian menjadi persoalan, orang non-hukum seringkali belum mampu memahami dan menyelaraskan pembuatan kontrak dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, orang hukum membutuhkan pemahaman yang lebih komprehensif soal spesifikasi bidang tertentu dan risiko yang dikandung bidang tersebut.
Ahli Hukum Kontrak Hikmahanto Juwana, dalam acara launching dan peresmian Perkumpulan Perancang dan Ahli Hukum Kontrak Indonesia (PAHKI), pada Selasa (31/7) lalu, mengutarakan kekhawatirannya soal minimnya pendidikan yang memadai dan terfokus untuk suatu profesi perancangan kontrak. Menurutnya, hal ini berdampak negatif atas kualitas kontrak yang dihasilkan, terlebih dalam kaitannya dengan kerjasama yang melibatkan pihak asing.
Mirisnya, ungkap Hikmahanto, saat orang Indonesia membaca kontrak-kontrak yang tebal dalam bahasa Inggris seringkali dipersepsikan oleh lawyer-lawyerasing antara ramah dan ‘bodoh’.
“Seringkali oleh lawyer-lawyer asing ini orang Indonesia dikatakan antara ramah dan maaf ya, bodoh kok sama saja. Karena kalau kontraknya tebal besoknya langsung bilang, oh ini kontraknya udah bagus kok, udah win-win. Padahal sebenarnya banyak jebakan-jebakan di situ,” ungkap Hikmahanto.
Harusnya, sambung Hikmahanto, orang Indonesia harus mampu memproteksi diri dari jebakan-jebakan yang ditujukan karena bagi pihak asing membuat jebakan itu penting untuk melindungi klien mereka.
“Karena setannya suatu kontrak itu ada pada detailnya, kalau dalam bahasa Inggrisnya The Devil in the contract is in the details,” tukas Hikmahanto.
Hikmahanto melanjutkan ilmu dan pengetahuan tentang kontrak perlu diperkaya melalui pelatihan-pelatihan kontrak dasar hingga pelatihan kontrak yang lebih spesifik. Sehingga ketika orang Indonesia berhadapan dengan lawyer dan ahli hukum kontrak asing maka kualitas mereka bisa sejajar.
“Di sinilah salah satu peran dari PAHKI,” jelas Hikmahanto yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).
Karena tidak bisa dipungkiri, kata Hikmahanto, bahwa setiap kata maupun kalimat yang tertuang dalam suatu kontrak memiliki konsekuensi hukum yang harus diperhatikan untuk memitigasi risiko yang mungkin akan dihadapi ke depannya.
Hikmahanto mencontohkan, misalnya perbedaan konsekuensi hukum penggunaan kata ‘antara lain’, dengan ‘tidak ada kata antara lain’, hanya menggunakan atau tidak menggunakan kata itu bisa menimbulkan konsekuensi apakah suatu ketentuan bersifat limitatif atau tidak.
Contoh lain, sambung Hikmahanto, pendefinisian hari dalam suatu perjanjian utang-piutang, kreditur mungkin menafsirkan hari kalender dengan menghitung hari sabtu dan minggu (7 hari), karena dalam bisnis prosesnya kreditur akan mendapatkan bunga yang lebih besar jika turut menghitung sabtu minggu sebagai hari kalender. Di lain pihak, debitur menghitung hari kalender sesuai dengan hari kerja saja, yakni 5 hari (tidak termasuk sabtu-minggu).
Di sini, kata Hikmahanto, jika si perancang kontrak tidak jeli menentukan definisi hari itu, maka akan terjadi sengketa di kemudian hari. Karena nanti dihitungnya bunga itu dihitung misalnya 7 hari dikali 1 tahun, kalau perjanjiannya untuk 3 tahun dikalikan 3 lagi, dikalikan berapa persen bunganya dikalikan pokoknya. Coba bayangkan, kata Hikmahanto, jutaan USD yang biasanya dipinjam pemerintah Indonesia dikalikan bunga yang tadi itu
“Nah itu kan jadi sesuatu yang harus dimunculkan ketika kita membuat kontrak. Tapi masalahnya emang orang Indonesia itu kadang-kadang tidak suka dengan masalah-masalah detail dan rinci soal kata-kata, sementara setan atau jebakannya justru ada di situ,” imbuh Hikmahanto.
Alasan lain lahirnya PAHKI ini, lanjut Hikmahanto, mengingat adanya kebutuhan di berbagai proyek infrastruktur dan pemerintahan bahwa kontrak-kontrak itu harus dilihat oleh ahli hukum kontrak. Sementara, ahli hukum kontrak tidak haruslawyer, tapi juga bisa Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pertanyaannya kemudian, kata Hikmahanto, apakah pendidikan bagi mereka sudah memadai? Dapatkah memberikan output yang baik dalam proyek-proyek pemerintah ketika menelaah suatu kontrak?
Minimnya pemahaman orang Indonesia ini, jelas Hikmahanto, bisa juga dilihat saat Indonesia teken Head of Agreement (HoA) antara Inalum dan Freeport Mc Moran. Saat itu, kata Hikmahanto, Pihak menteri BUMN mengatakan bahwa perjanjian ini mengikat (binding agreement), sementara kalau dilihat dariLondon Stock Exchange dan New York Stock Exchange di mana Freeport mencatatkan sahamnya, ternyata mereka menyatakan bahwa HoA yang diteken adalan non-binding agreement (tidak mengikat).
“Nah, kalau ahli hukum kontrak seharusnya tahu masalah ini. Itu juga yang saya kemukakan bahwa kita jangan senang dulu, jangan euforia dulu. HoA ini sebetulnya belum dianggap bahwa kita sudah menguasai 51% saham yang ada di PT Freeport Indonesia,” tukas Hikmahanto.
Itulah mengapa baik SH maupun Non-SH dipandang Hikmahanto penting memiliki pemahaman yang baik dan profesional terkait penelaahan serta perancangan atas suatu kontrak. Bagi SH, kata Hikmahanto, perlu diberiexposure tentang apa itu bisnis proses, sebaliknya Non-SH butuh kemampuan untuk meng-comply suatu kontrak dengan perundang-undangan yang berlaku.
“Karena ini yang kerap menjadi masalah di kemudian hari saat kontrak itu dibawa ke pengadilan atau arbitrase,” tukas Hikmahanto.
Perwakilan Plt Ditjen AHU, Peggy Marin, mengakui banyaknya perkara bisnis yang saat ini ditangani pengadilan maupun lembaga alternatif penyelesaian sengketa menjadi indikasi utama banyaknya kontrak bisnis yang dirancang secara kurang efektif.
Bagi lulusan hukum, kata Peggy, mungkin sudah pernah mempelajari soal asas-asas yang harus dipenuhi dalam suatu kontrak, seperti asas kebebasan berkontrak selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Kemudian, asas terkait setiap kata sepakat yang telah disetujui para pihak dapat melahirkan konsensualitas (perjanjian). Akan tetapi, sambung Peggy, bagaimana dengan perancang kontrak dengan latar belakang non-hukum?
Sementara, kata Peggy, tak bisa dipungkiri dalam dunia bisnis dan ekonomi banyak juga pihak yang tidak berlatar belakang hukum yang ditunjuk untuk membuat dan merancang suatu kontrak bisnis. Apalagi, sambung Peggy, ketika suatu kontrak dibuat oleh para pihak dari 2 negara yang berbeda yang tentunya harus tunduk pada yurisdiksi hukum yang berbeda pula, bagaimana orang non-hukum bisa menghadapi hal tersebut?
“Keadaan inilah yang perlu disikapi dengan baik oleh perancang maupun ahli hukum kontrak dengan cara memberikan transfer ilmu kepada para pemangku kepentingan itu,” terang Peggy dalam acara yang sama.
Sumber: Hamalatul Qur’ani| 1 Agustus 2018 (Hukumonline)